- Dewan Pengurus Daerah Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia Provinsi D.I. Yogyakarta -
Google
 

Jalan Tol Bandara Mengapa Banjir?

Tanggal 29 Desember 1999 harian Kompas memuat foto spektakuler di halaman depan: jalan Tol Bandara Utama Soekarno-Hatta tergenang air! Banyak orang yang tadinya tidak tahu jadi tersentak, begitukah yang terjadi? Beribu pertanyaan santer menggema. Aneh, tapi semua itu memang terjadi. Air meluap hingga titik tertinggi satu setengah meter menenggelamkan pembatas jalan pada pukul dua dini hari. Alur transportasi terhenti kecuali bus-bus besar milik DAMRI dan truk bantuan Brimob yang kemudian dipaksa melaju melawan genangan air.

Akibat dipaksakannya armada-armada tersebut melawan air yang notabene mengandung garam, dari 32 Bus DAMRI yang dioperasikan saat kejadian, tujuh bus akhirnya harus turun mesin dengan biaya perbaikan Rp 20 juta/unit. Begitu juga dialami lima truk Brimob, harus menjalani perbaikan. Truk Brimob selanjutnya digantikan oleh truk Marinir dari kesatuan Armabar.



Menjelang pagi suasana makin tak karuan. Mobil-mobil pribadi dan taksi berkerumun di pintu Tol Kamal (awal daerah genangan air yang akhirnya dibuka bebas) berdesakan dengan orang-orang yang hendak bepergian lewat bandara. Ada yang berdasi, ada yang membawa koper-koper besar, juga ada bule.



Begitu bus dan truk bantuan tiba mereka berebut naik. Persis suasana penumpang di terminal Pulogadung menjelang lebaran. Apa boleh buat, yang mereka kejar adalah jam keberangkatan pesawat. "Why does it happen?" tanya James, pria gendut enam puluh tahun asal Inggris kepada Angkasa setiba di bandara.



Tergenangnya jalan Tol Prof Sedyatmo di ruas km 26 hingga 28 (dihitung dari pintu gerbang tol Cawang) selama empat hari (28-31/12/1999) jelas membuat kisruh. Bayangkan saja, bahwa pada hari pertama kejadian pihak Bandara Soekarno-Hatta mencatat tidak kurang dari 121 jadwal keberangkatan pesawat mengalami penundaan. Yakni 35 penerbangan terlambat lebih dari satu jam dan 86 penerbangan lainnya tertunda setengah jam. Maka jangan heran kalau kejadian ini akhirnya menjadi masalah besar yang mengundang complain serta polemik berbagai pihak. Lebih-lebih, logikanya saja Bandara Soekarno-Hatta adalah wajah depan bangsa Indonesia di mata internasional dan pintu gerbang bertumpunya 23 penerbangan asing.


Ekosistem rusak
Mengapa jalan Tol ke Bandara Soekarno-Hatta tergenang air? Gampang-gampang susah menjawabnya. Apakah konstruksi jalannya, apakah perencanaannya yang terburu-buru, ataukah ada faktor-faktor lain yang lebih dominan yang menyebabkan jalan sepanjang 17 km itu tergenang air. Tapi tak urung, ada juga orang-orang (kelompok) yang berani bicara lantang. Salah satunya adalah Lukman F.Mokoginta, Ketua Dewan Direktur Lembaga Studi Sosial Lingkungan dan Perkotaan (LS2LP).
Akhir tahun 1999 dalam keterangan pers-nya, Lukman mengatakan bahwa jalan Tol Prof Sedyatmo tidak akan bebas dari genangan air karena ekosistem di sekitarnya telah rusak. Ekosistem yang rusak, lanjut Lukman, karena pemerintah daerah tidak menjalankan kontrol yang ketat terhadap tumbuhnya perumahan mewah dan pemukiman penduduk di kawasan genangan air dan pantai. "Saya dulu memprotes proyek perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang jelas-jelas membabat habis hutan bakau dan menghilangkan daerah resapan air, namun protes saya diabaikan," ujarnya (Kompas 31/12/1999).


Menurut sumber Angkasa, PT Mandara Permai selaku pengembang PIK menguasai lahan seluas 1.163 Ha dan mengalihfungsikannya menjadi perumahan mewah serta lapangan golf. Lapangan golf inilah yang juga disinyalir para ahli lingkungan sebagai penyebab tidak tertahannnya air di dalam tanah. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1983/1984, seiring dengan akan dibuatnya akses jalan tol ke bandara, secara diam-diam pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan telah melepas kawasan hutan bakau di wilayah pantai kapuk kepada pengembang. Padahal jelas-jelas daerah itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai daerah suaka alam. Sebagai gantinya pengembang menyediakan hutan di Sukabumi. Benarkah tudingan itu? Sayang, setiap kali Angkasa berusaha menggali jawaban dari PT Mandara Permai, staf pihak pengembang selalu menyatakan, yang berwenang tidak ada di tempat.


Ada satu lagi hal "lucu" yang akhirnya terungkap pers, bahwa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan PIK dikeluarkan Pemda kerjasama dengan pengembang 7 Agustus 1995 setelah pembangunan itu dilaksanakan. Padahal menurut ketentuan izin pembangunan baru dapat diberikan setelah AMDAL dikeluarkan.
Tahun 1992 ketika proyek PIK disiapkan dan akan segera dibangun, Meneg KLH Emil Salim (saat itu) juga mengajukan keberatan kepada pemerintah pusat dan Pemda setempat atas proyek pembangunan PIK. Emil mengatakan, bila proyek tetap dilaksanakan maka jalan Tol akan tergenang. Namun lagi-lagi imbauannya tidak digubris. Benar juga, bahwa akhirnya awal tahun 1995 bencana itu terjadi untuk pertama kalinya. Disusul kejadian kedua tahun 1997 dan ketiga akhir tahun 1999.


Konstruksi jalan?
Bagaimana dengan kontruksi jalan tol-nya sendiri? Menurut sumber pembangunan proyek jalan tol diatas rawa-rawa itu juga bisa dibilang "crash program". Kronologisnya, bahwa menjelang tahun 1985 tiba-tiba keluar instruksi bahwa Bandara Soekarno-Hatta harus segera difungsikan mengingat sarana dan fasilitasnya sudah siap. Permasalahannya hanya tinggal terletak pada jalan yang menghubungkan kawasan Jakarta dengan Cengkareng tersebut. Sementara jalan yang ada pada waktu itu kondisinya sangat tidak representatif. Selain memutar, kecil, juga diperkirakan akan menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Maka dipikirkanlah konstruksi jalan yang bisa dibangun dengan cepat diatas rawa-rawa yang merupakan akses area tercepat untuk menjangkau bandara. Terpilihlah konstruksi cakar ayam (seolah mengambang di atas rawa-rawa) karya Prof Sedyatmo. " Sebenarnya kita tidak perlu konstruksi itu, kalau memang sudah ada rencana yang bagus," ujar sumber tersebut.



Dalam waktu dua tahun, jalan berhasil dibangun dan mulai digunakan tahun 1985 seiring dibukanya Bandara. Menurut hitungan teori, dengan konstruksi cakar ayam setelah sepuluh tahun digunakan jalan akan turun 80 cm dan kemudian berhenti. Namun teori tinggal teori, karena "kabarnya" data di lapangan menerangkan bahwa jalan Tol Prof Sedyatmo, khususnya di km 26-28 yang tergenang air itu, kini telah terjadi penurunan lebih dari satu meter. Betul atau tidak, perlu dibuktikan juga.



Yang terang, bahwa awal terjadinya banjir di jalan tol yang beromzet 180 juta perhari ini adalah tahun 1995. Bukankah semua ini terjadi sepuluh tahun setelah jalan dioperasikan dan setelah dibangunnya proyek mercusuar perumahan mewah PIK?


Antisipasi ke depan
Dalam waktu dekat, yang perlu disiagakan tentu adalah mencegah agar jalan jangan sampai tergenang lagi. Mengingat musim hujan masih terus berlangsung dan cuaca pun kadang-kadang "mengejutkan". Bagaimana kesiapan PT Jasa Marga sebagai pengelola sekaligus penanggungjawab jalan Tol Prof Sedyatmo menghadapi masalah ini? Di lapangan Kepala cabang PT Jasa Marga untuk ruas Tol CTC (Cawang-Tomang-Cengkareng), Adityawarman memaparkan kepada Angkasa, bahwa pihaknya telah menyiapkan dua langkah strategis.



Yang pertama, dan tengah dirampungkan adalah pembuatan long storage sepanjang 1,5 km dengan lebar enam meter. Bekerjasama dengan Pemda DKI dan Departemen Pekerjaan Umum Diharapkan parit ini dapat menampung air luapan untuk selanjutnya dibuang ke sungai-sungai terdekat dengan pompa-pompa permanen yang jumlahnya telah ditambah. Sementara rencana jangka panjang, jalan tol akan ditinggikan lima meter menggunakan konstruksi tiang pancang slab dan dilebarkan menjadi delapan jalur (enam jalur mendekati Gapura Bandara). "Sebenarnya rencana jangka panjang ini sudah lama siap, namun ketika akan dilelang tahun 1997, tak diduga negara kita masuk kondisi krisis," ujar Adityawarman.



Akankah semuanya terealisasi dan jalan tol bandara bebas genangan? Baiknya kita tunggu saja bersama. (ron)www.angkasa-online.com